PETRICHOR - Dua




"SUDAH aku bilang ini sama sekali bukan perjodohan!" Diani mengoreksi kata-kata Valen. Tetapi ia sama sekali tak bisa menyalahkan apa yang dipikirkan sahabatnya itu setelah apa yang berusaha dilakukannya selama ini. "Aku hanya ingin kamu kenalan dan mungkin... nantinya Dimas bisa menggantikan posisi lelaki itu! Sepupuku lelaki yang baik dan tampan." tegas Diani.

"Menggantikan posisi?" jawaban Valen lebih mirip seseorang yang frustasi. "Kamu tahu ini 'nggak semudah itu, Diani"

Suara Diani tak terdengar lagi diseberang sana. Valen tahu, gadis itu sedang merasa bersalah sekarang. Saat ini Valen sedang berada di salah satu kafe yang mempertontonkan acara live music yang memanjakan pengunjung. Kafe yang sudah pasti ramai dikunjungi di setiap akhir pekan. Terutama mereka yang merupakan pasangan. Valen bisa melihat jelas diberbagai sudut ruangan terdapat meja berisikkan para pasangan yang tengah menghabiskan waktu berdua. Bercanda gurau sembari sesekali terlihat saling menyuapi makanan satu sama lain. Membuat Valen tak kuasa menatap mereka bahkan untuk semenit. Terlalu sakit baginya.

Valen menarik napas pelan, "Ok, kali ini aku coba mengikuti keinginanmu. Jam berapa dia akan datang?" 

"Akhirnya!" suara Diani kembali terdengar. Bedanya kini begitu antusias. "Sekitar jam 3, Dimas bilang dia sedikit terlambat karena temannya tetiba saja datang dari Surabaya dan meminta untuk diantar ke apartemen." 

Valen melirik jam yang melingkar ditangannya dengan ragu. 2.50. Berarti sekitar 10 menit lagi. 

"Baiklah, akan aku tunggu. Tapi, jika dalam lima belas menit lagi dia 'nggak datang aku akan pergi! Dan... aku mohon jangan pernah lakukan hal konyol begini lagi, Diani." cerocos Valen masih menyimpan rasa kesal.

Diani terkekeh diseberang sana, "Kamu 'nggak bakal menyesal! Percayalah kamu akan berterimakasih padaku karena sudah ku kenalkan pada Dimas!" yakin Diani yang kemudian menutup sambungan telepon itu secara sepihak.

Alis Valen terangkat. Apa yang terakhir didengarnya tadi, "berterimakasih". Valen menggigit bibir miris, ia bahkan tak berhenti memijit pelipisnya seolah dilanda rasa pusing yang tak akan ada ujungnya. Beberapa detik berikutnya sudut mata Valen menangkap kilatan cahaya samar dari atas meja, membuatnya terpaksa menatap layar ponselnya yang baru saja menyala. Terlihat sebuah notifikasi pesan dari nomor yang sangat dihapalnya. 

Semangat. Besok kamu wajib menceritakan bagaimana pertemuan kalian... 😉

Lagi-lagi ia dibuat miris setelah membaca isi pesan itu. Jujur ia sungguh tidak peduli. Ia hanya inginkan satu hal. Semua ini cepat berlalu agar ia bisa kembali ke kamar apartemennya dengan segera.

Valen melirik jam yang melingkar ditangannya lagi. 3.19. 

"Apa tak ada satu lelaki saja yang bisa datang tepat waktu!" Keluhnya yang kemudian bergegas meraih tas dan ponselnya untuk segera pergi.

Belum ada selangkah, ia menyadari satu hal penting yang harus segera dilakukan. Jemari lentiknya kini menari di atas ponsel dengan lincah. 

"Maaf membuatmu menunggu lama, aku Dimas!" suara lelaki yang begitu asing membuat Valen mendongakkan kepala. Seketika terlihat seorang lelaki dengan keringat menetes di dahi tengah berdiri di depan meja sembari mengulurkan tangan, menatap Valen dengan senyum.

"Valen," ucap gadis itu seraya meraih uluran tangan Dimas dan kemudian melepasnya.

"Apakah kita masih bisa duduk berbincang?"

Valen tak menyangka lelaki dihadapannya ternyata peka juga. Ia kemudian hanya menganggukkan kepala dan kembali duduk dikursinya. Melupakan pesan yang sudah siap untuk dikirimkan dengan sekali tekan, "Jadi, kamu sepupu Diani?" tanya Valen akhirnya.

"Bisa dikatakan begitu." jawab lelaki itu setelah ikut duduk di kursi tepat dihadapan Valen. Ia tak sedikitpun mengalihkan pandangan dari gadis itu. Seakan ada yang menarik disana,  "Omong-omong apa aku membuatmu menunggu lama?"

Valen berusaha tersenyum untuk memahami situasi. Namun ia bertaruh, lelaki dihadapannya pasti paham seberapa lama dan seberapa kesal ia dibuatnya menunggu. "Ya, cukup untuk menghabiskan dua gelas cappuccino di atas meja ini." 

Dimas terkekeh, tersirat rasa bersalah disana. Dugaan Valen benar, lelaki itu paham. Dimas terdiam sejenak, kemudian dengan isyarat tangan beranjak memanggil seorang pelayan kafe yang berdiri tak jauh dari meja mereka. Ia meminta pelayan itu memperlihatkan buku menu dan langsung menentukkan pilihannya.

"Satu Cappuccino dan Satu Orange Juice." 

Pesanan Dimas membuat Valen terhenyak. Dalam benaknya mencoba berpikir, sejak kapan ada orang yang menggabungkan kopi dan jus untuk diminum secara bersamaan. Bukankah itu hal yang aneh?

"Ah, maaf sebelumnya. kamu 'nggak keberatan, kan. Sebenarnya aku kesini membawa temanku. Bocah itu tak ingin ditinggalkan di apartemen sendirian!" ucap Dimas seakan memahami kebingungan Valen.

"Oh, ya? Lalu dimana temanmu sekarang!" Valen memaksakan senyum, mencoba untuk merasa tidak keberatan.

"Sepertinya dia sedang menerima telepon. Biasalah orang sibuk." ungkap Dimas diiringi tawa ledekan. 

Valen hanya menggangguk sekenanya kemudian meneguk cappuccino yang sejak tadi memang sudah dipesannya. Matanya menerawang, memperhatikan sosok didepannya dengan seksama. Lelaki dihadapannya memang sesuai yang di deskripsikan Diani. Tampan dan tampak begitu menawan meski hanya menggunakan polo shirt abu dan celana jeans hitam. Namun, tentu saja Valen masih keberatan jika dijodoh-jodohkan begini.

"Omong-omong awalnya aku pikir Diani sedikit berlebihan saat memuji sosokmu dihadapanku terus-menerus. Tapi setelah bertemu langsung denganmu, aku jadi merasa wajar kenapa Diani bisa memujimu sebegitunya." 

Valen tak menjawab apapun. Suasana berubah canggung setelah pengakuan Dimas. Ia memang tak tahu apa yang telah dikatakan Diani tentangnya selama ini pada Dimas. Tetapi itu sungguh membuat Valen merasa tak nyaman. Dalam benaknya terus berputar pikiran, bagaimana jika lelaki di hadapannya itu tahu tentang masa lalunya yang hanya ia ceritakan pada Diani? Bagaimana jika lelaki dihadapannya hanya berpura-pura memasang senyum padahal dalam hati tengah mengejeknya habis-habisan? 

"Dimas!" 

Sebuah suara datang memecah suasana. Lelaki yang dipanggil bangkit dari kursinya dan melambaikan tangan ke arah suara itu berasal. Sesaat berikutnya, dapat terdengar langkah kaki sedikit tergesa menghampiri meja mereka. 

Valen memerhatikan dengan cermat lelaki dihadapannya yang kini sudah kembali duduk. Tak berapa lama ia memilih untuk menunduk, entah kenapa ia ingin sekali pergi dari tempat itu sekarang. Rasa sesak mulai menerobos masuk dalam dadanya. Membuatnya semakin tak nyaman. 

"Perkenalkan, ini Valen. Sahabat Diani yang sejak tadi aku ceritakan diperjalanan." ucap Dimas setelah mempersilahkan temannya itu duduk di kursi sampingnya. 

Mendengar namanya disebut, Valen cepat-cepat mendongakkan kepala. Sebisa mungkin ia membuang rasa sesak yang tak kunjung hilang. Ia mengulurkan tangannya, mencoba bersikap ramah. Namun uluran tangan itu mendadak merosot saat matanya dengan jelas menatap sosok lelaki yang tak asing. Sosok lelaki yang membuat rasa sesak di dadanya kian bertambah.

"Senang bisa bertemu denganmu lagi, Valentine!"

Hanya satu kalimat. Namun, kalimat itu berhasil membuat Valen terkejut bukan main. Matanya terbelalak nyaris mau melompat. Mulutnya yang menganga menggumam dengan terbata, "R-raditya?"

***

Valen dan Radit hampir setiap saat menghabiskan waktu bersama dengan menikmati aroma petrichor sembari bersembunyi di atap gedung sekolah. Bahkan tak jarang mereka menikmati suasana itu sembari duduk-duduk di kafe sembari menunggu hujan reda. Di akhir pekan ataupun sepulang sekolah tidak pernah menjadi masalah. Bagi mereka selalu banyak waktu menyenangkan yang bisa mereka bagi bersama.

Seperti saat ini, waktu kelulusan kelas dua belas sudah tiba. 
Radit yang sebenarnya sudah lulus tahun sebelumnya menyempatkan menghampiri Valen yang sejak tadi berdiri di tepi jendela kelasnya. Kedua siku bertumpu pada kosen dan menopang dagunya. Ia mengenakkan gaun berwarna jingga dengan rambut yang dibiarkan tergerai sebahu. Riasan sederhana diwajah mungil Valen membuatnya semakin terlihat menawan.

"Akhirnya menyusul juga ya!"

Ia mendapati lelaki dengan setelan jas hitam berdiri diambang pintu. Kedua tangannya di masukkan kedalam saku. Senyum lelaki itu mengudara.

"Temani aku ke atap, yuk! Ada sesuatu disana."

Valen menggangguk, kemudian mencoba mensejajarkan langkahnya dengan lelaki itu. Mata gadis itu terbelalak saat menginjakkan kakinya di atap. Sebuah hiasan warna-warni memenuhi seluruh sudut atap yang kini tersiram hujan. Lelaki itu terdiam sejenak, kemudian menatap gadis disampingnya dengan senyum.

"Suka?"

Valen tak menjawab. Ia masih takjub melihat pemandangan yang menyapa matanya. Semakin indah dengan semerbak aroma petrichor yang kini menyeruak.

"Kenapa kamu suka sekali dengan petrichor?" tanya Valen sambil menatap lekat-lekat lelaki di hadapannya. Ia tetap saja bertanya meski sudah tahu jawabannya. Bahkan, mungkin ia telah hapal akan setiap kata yang akan dijawab lelaki itu.

"Kenapa kamu begitu suka menanyakan hal yang kamu sendiri sudah tahu jawabannya?" Radit membaringkan tubuhnya diatas semen, kemudian menutup matanya perlahan. Menyecap semua aroma petrichor yang terhirup.

"Mana aku tahu jika suatu saat mungkin jawabanmu akan berubah!" Valen mengikuti jejak lelaki itu, membiarkan seluruh tubuhnya tersiram air hujan.

"Perasaanku bukan makanan kaleng yang bisa kadaluarsa. Begitu juga dengan alasanku yang sangat menyukai petrichor." jawab lelaki itu diakhiri senyum.

Perlahan lelaki itu membuka matanya, menatap Valen yang berbaring persis disampingnya. 

"Kamu... cantik," gumam Radit. Wajahnya tak sedikitpun beralih dari wajah Valen.

"Apa?" Valen membuka matanya, balik menatap lelaki disampingnya yang masih saja menatapnya tanpa lepas.

Radit memilih untuk tak langsung menjawab. Ia menghela napas berat, lalu mengeluarkan sesuatu di saku jasnya dan memberikannya pada Valen. Membuat Valen kebingungan.

"A-apa maksudnya benda ini?" 

"Itu aku dapat dari Vera. Dia bilang kamu yang memberikannya karena tak suka dengan liontin yang menggantung disana." jelas Radit dengan suara berat. Untuk pertama kalinya mata lelaki yang selalu berbinar itu menyiratkan sorot kecewa. 

"I-itu..." 

"Bagaimana jika nanti aku berhenti mengejarmu? Akankah kau merasa kehilangan!" potong Radit dengan suara geram. Valen bertaruh, jika dalam suara lelaki itu penuh rasa kekecawaan. 

Radit bangkit, merampas kembali kalung berliontin lumba-lumba yang tadi ia berikan pada Valen. Membuat gadis itu terperanjat, kaget. Baru kali ini ia melihat lelaki itu melempar tatapan seperti itu padanya. Sorot mata yang seolah menahan amarah yang tak bisa lagi dibendung.

"Setelah apa yang kita lalui selama ini, sekarang aku paham kenapa kamu selalu mengulur waktu saat aku tanya jawabanmu mengenai perasaanku." Radit berjalan menjauhi Valen lalu berhenti di ambang pintu. Ia melirik perlahan melalui bahunya. "Kalau begitu, selamat tinggal.... Valentine."

Apa? Tunggu ini pasti salah. Bukan seperti ini yang diinginkan Valen. Mungkinkah ada hal yang membuat Radit berpikir jika ia menolaknya? Ini kesalahpahaman yang buruk.

Valen merasa begitu bodoh kali ini. 

***

"Jadi kalian sudah saling mengenal?" tanya Dimas takjub.

Valen terdiam salah tingkah. Kini ia merasa sedang dilanda disorientasi antara masa lalu dan masa sekarang. Matanya terus sibuk memandang ke arah Radit. Siapa sangka lelaki yang sangat ingin ditemuinya, kini dengan sendirinya hadir tepat dihadapannya. 

"Kami bersekolah di SMA yang sama."

Valen menghela napas mendengar Radit bersuara menjawab pertanyaan Dimas. Ia masih begitu terkejut. Ditambah rasa sesak di dadanya tak juga mau hilang.

"Oh ya?" tanya Dimas terlihat antusias. "Apakah dulu kalian akrab?"

"Tentu."

"Tidak juga."

Jawaban berbeda yang terlontar dari mulut Valen dan Radit membuat Dimas mengeryit bingung. Bagaimana mungkin Radit mengatakan "Tentu." sedangkan Valen mengatakan "Tidak juga". Sebenarnya seperti apa hubungan mereka dulu?

"Apa maksudmu dengan "Tidak juga"? tanya Radit sambil menatap protes ke arah Valen. Ia masih tak menyangka gadis itu akan memberi jawaban yang berbeda. Seolah hubungan mereka dulu sudah terlupakan begitu saja. 

"Maksudku..." Valen buru-buru memalingkan wajah. Sementara benaknya mencoba mencari alasan yang masuk akal. "Kita kenal karena dulu Radit itu kakak kelas yang banyak di incar gadis satu sekolah. Ya, itu saja. Jadi... begitulah." 

"Benar," sahut Radit ringan kemudian tertawa kecil. Matanya. Lagi. Menyorotkan tatapan kecewa. "Seperti itulah hubungan kami." 

Apa? Tunggu ini salah. Bukan seperti ini yang ingin Valen katakan. Kenapa ia seakan membuat Radit berpikiran buruk lagi?

***

Bersambung ke PETRICHOR - Tiga

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTRIDUCTION(?)

YUK, KENALAN LEBIH JAUH DENGAN WINNER DIGITAL BOOKS PUBLISHING!